Cerpen 'Aku Rindu'
Aku Rindu
Awan hitam yang sedari tadi menemaniku nampaknya mulai menunjukkan kebolehannya. Guyuran hujan makin deras membasahi. Namun entah mengapa ragaku masih terpaku dan enggan begerak. Aku masih ingin menikmati suasana ini. Berbaring di antara hijau pepohonan, segar rerumputan, dan sejuk udara pagi pedesaan. Aku memejamkan mata, merasakan kedamaian yang mungkin tidak akan bertahan lama. Meskipun kini sekujur badanku telah terselimuti air hujan.
“Kintannnn, ayo masuk! Nanti kamu tambah kehujanan,” teriaknya.
“Bentar, aku masih ingin di sini, kamu nggak usah khawatir,” ucapku sedikit kesal.
Aku terkejut, aku merasa ada seseorang yang menggengam tanganku. Aku buka mataku, mencoba mencari tahu siapa yang telah mengejutkanku. Ternyata benar dugaanku, dia seorang anak perempuan berusia tiga belas tahun, sama sepertiku. Senyumnya manis, wajahnya khas terlihat seperti perempuan Eropa, mirip seperti ibunya, seorang wanita bekebangsaan Inggris. Kulitnya bersih, kuning langsat, mirip seperti ayahnya, pria asli Yogyakarta. Perempuan itu adalah Celine, sahabatku sejak aku masih belajar berjalan, sahabat kecilku.
Wajahnya menyiratkan kekhawatiran. Aku tahu, dia takut sahabatnya ini sakit karena hujan. Aku juga tahu rasa sayangnya padaku sepertintya lebih dari sekedar sahabat. Dia mengajakku masuk, ke dalam rumah joglo kuno milik kakek buyutku, untuk berteduh.
***
Sinar mentari pagi mulai menelisik sela-sela tirai jendela kamarku. Udara pagi yang dingin merangsek jendela kamar yang sengaja kubiarkan terbuka, membuatku menggigil dan memaksaku bangun dari mimpi masa kecilku. Aku mengedipkan mata perlahan, berusaha beradaptasi dengan cahaya mentari yang cukup menyilaukan ini. Perlahan aku bangkit dari tempat tidurku, mencoba melawan gravitasi. Berjalan menghampiri tirai itu dan menyibaknya.
Aku menyipitkan mata, mengernyitkan dahi berusaha beradaptasi dengan sinar matahari yang kian menyilaukan. Mataku menyapu pemandangan sekitar. Menggali memori yang pernah tertinggal di halaman penuh rerumputan itu. Tempat di mana aku menghabiskan waktu masa kecilku, sepuluh tahun yang lalu, bersama Celine. Aku menghela napas. Mencoba menata hati yang penuh dengan kerinduan akan kenangan masa kecil.
Aku bersiap diri. Mencoba menjalani satu hari lagi berat, merindukan seorang sahabat. Namun hatiku tetap berusaha tegar, berusaha mempercayai takdir terbaik.
Semenjak Celine meninggal, akulah yang mengambil alih usaha batik yang telah dirintisnya. Berawal dari kecintaannya terhadap batik dan pesan mendiang ibunya untuk melestarikan budaya luhur itu. Buah hasil kerja keras Celine terbayar, usaha batiknya itu sekarang merupakan salah satu yang cukup besar di Yogyakarta. Aku bangga bisa menemaninya merintis semua itu. Namun sayang, ternyata Tuhan berkata lain, Celine tak bisa lama menikmati hasil kerja kerasnya.
Jessica Adriane, ibu Celine, memang bukan merupakan wanita asli Indonesia, namun kecintaannya pada Indonesia membuat hatinya tergugah. Ia miris, melihat budaya bangsanya yang hampir menelan budaya luhur milik Indonesia. Ia miris melihat generasi muda calon penerus bangsa terlihat hampir tak lagi memerdulikan kebudayaan Ibu Pertiwi.
“Mbak Kintan, maaf ini laporan penjualan bulan ini dan kemarin, kain yang akan dikirim sudah disiapkan.” ucap Rosalie, adik Celine yang aku minta bantuannya untuk membantuku meneruskan jerih payah kakaknya. Sebenarnya, dia yang seharusnya menjadi pemilik dari usaha batik ini, namun ia menolak dan memilih menyerahkannya padaku. Awalnya aku tak mau, merasa tidak berhak atasnya. Namun Rosalie memaksaku berulang kali hingga aku pun luluh dan menyetujui permintaannya.
“Oh, iya, tolong laporan itu letakkan di mejaku saja, nanti aku cek. Aku mau mengecek kain dulu. Terima kasih, Rose,” kataku. Rosalie mengangguk, kemudian beranjak pergi.
Aku berjalan menuju tumpukan kain batik di sudut ruangan. Mengecek kondisi tiap helai, satu persatu. Hingga mataku tertuju pada sebuah kain dengan motif yang menarik perhatianku. Sehelai kain dengan motif kawung, motif kesukaan Celine. Aku mengambil dan membentangkannya, meneliti guratan motif satu persatu, meneliti kolaborasi warna di atas kain itu. Namun, secara tidak sengaja, air mataku menetes. Aku teringat Celine, sahabatku. Aku teringat bagaimana dia mencintai batik. Aku teringat bagaimana usahanya mendirikan usaha batik ini. Aku teringat senyum manisnya. Aku teringat kebaikan hatinya. Aku teringat segalanya, tentang dia, tentang bagaimana dia meninggalkanku.
***
“Kintan, kamu sibuk nggak hari ini? Aku pengen ngajak kamu jalan-jalan nih,” ajaknya.
“Aku nggak sibuk kok,” balasku dengan senyum yang mengembang.
Hari ini ulang tahun Celine ke tujuh belas. Pada umumnya, ulang tahun ke tujuh belas merupakan hal yang dinanti sebagian besar orang. Mungkin, ini dikarenakan tujuh belas merupakan umur peralihan menuju kedewasaan. Tapi entahlah, bagiku dan Celine, ulang tahun bukan sesuatu hal yang amat penting. Kami justru merasa sedih jika semakin hari umur kami bertambah. Itu berarti kami semakin dekat akan perpisahan, karena kematian.
Celine ternyata mengajakku ke tempat favoritnya, Malioboro. Dia bercerita padaku, dia suka Malioboro karena kecintaannya pada batik. Semua orang tahu, Malioboro adalah tempat terbaik para pemburu batik. Ratusan bahkan ribuan motif batik tersedia disana, tidak hanya motif, beragam desain baju batik juga disajikan. Harganya yang cukup murah dan bahkan bisa ditawar, membuat Celine tak penah bosan berbelanja di sana.
“Kintan, baju ini bagus nggak? Cocok kan buat aku?” tanya Celine dengan penasaran, sembari menempelkan baju dengan motif kawung itu di badannya.
“Bagus kok, Cel. Kamu terlihat cantik. Lebih cantik dari biasanya,” balasku dengan sedikit pujian.
“Duh, Kintan, makasih, bikin aku malu saja. Ya sudah, aku beli yang ini beberapa buah, siapa tahu bisa dijual” ucapnya, pipinya memerah, tersipu malu berkat ucapanku.
“Kamu tahu nggak, aku suka sekali motif ini. Motif kawung sebenarnya terlihat simple, tapi makna di dalamnya sangat luar biasa. Memberi pelajaran hidup pada manusia. Aku kagum, pada leluhur kita. Mereka bisa menciptakan sesuatu dengan filosofi yang sangat mendalam,” jelasnya, menyatakan kekagumannya. Aku hanya mengangguk, mengagumi pernyataanya.
Salah satu alasan mengapa Celine menyukai batik adalah karena banyak filosofi luhur yang ada di dalamnya. Filosofi mengenai kehidupan manusia, mengenai tata cara menjalani hidup, mengenai pelajaran berharga tentang hidup. Celine selalu bercerita padaku bagaimana kehebatan para leluhur membuat sebuah motif dan memberi arti pada setiap goresannya. Inilah yang membuatku ikut mencintai batik, sangat mencintai.
Celine mengajakku berkeliling, menjelaskan padaku hampir semua cerita tentang motif batik yang kami temui di Malioboro. Aku kagum, bagaimana dia bisa tahu semua cerita itu dengan sangat detail.
“Kintan, semoga persahabatan kita terus berlanjut ya, sampai nggak ada lagi udara yang keluar dan masuk dari paru-paru kita. Sampai jiwa kita terpisah dari raga kita,” kata Celine dengan sedikit terkikik, tapi aku tahu, ucapannya serius. Sedangkan aku, hanya bisa mengangguk, tidak tahu harus berkata apa.
Keesokan paginya, saat matahari mulai menampakkan pesonanya, aku berjalan menyusuri pematang sawah di sekitar rumah joglo kuno milik kakekku. Mendengar kicauan burung yang membuatku tersenyum kecil, menikmatinya. Secara tidak sengaja, aku melihat Celine berjalan menyusuri jalan setapak pinggir pematang sawah.
“Celine! Kamu mau ke mana?” seruku sedikit berteriak. Dia menoleh, mencari sumber suara. Setelah tau aku yang memanggilnya, dia tersenyum dan berlari kecil menghampiriku.
“Aku mau ke panti asuhan di dekat rumah sepupuku, ikut yuk! Pasti seru deh kalau kamu ikut,” ajaknya.
“Memangnya kamu mau ngapain di sana?”
“Biasanya aku ke sana buat ngasih bantuan rutin seperti bahan-bahan pokok untuk makan anak-anak panti, terus ngajak main, ngajak ngobrol mereka, bikin mereka seneng, bikin mereka bahagia deh pokoknya. Aku kasian, lihat mereka di usia mereka yang tebilang masih sangat belia harus hidup tanpa orang tua. Aku tahu itu merupakan hal yang sangat berat untuk hidup mereka. Aku ingin berbagi kebahagiaan ke mereka. Biar mereka nggak perlu meratapi takdir mereka,” jelas Celine dengan raut wajah bahagia.
Belum sempat aku menjawab, Celine langsung menarik tanganku. Dia mengajakku ke panti asuhan itu. Dia mengajakku berbaur bersama anak-anak yatim piatu itu. Celine menghibur mereka, mengajak mereka bercanda, membuat mereka tertawa sangat lepas. Aku baru tahu, setiap bulan dia menyisishkan uang tabungannya untuk ia berikan pada panti asuhan itu. Memang, jumlahnya tidak seberapa, namun aku tahu, uang itu sangat membantu bagi panti asuhan itu. Celine berbisik padaku, katanya selama kita masih hidup, jadilah manusia yang tidak mementingkan diri sendiri, tapi dapat menjadi manusia yang memerdulikan banyak orang di sekitarnya.
Semenjak hari itu, Celine selalu mengajakku berkunjung ke panti asuhan itu, kapan pun, saat dia punya waktu. Hingga aku merasa anak-anak panti asuhan itu adalah keluargaku sendiri. Senyum lebar selalu mengembang di raut mereka, tiap kali aku dan Celine menginjakkan kaki di halaman panti asuhan mereka. Mereka berlarian merengkuhku saat aku meneriakkan nama mereka dari balik pagar. Mereka menyebutku, kakak.
Namun, semua mulai berubah satu tahun kemudian. Aku merasa ada sesuatu yang salah pada Celine. Celine mulai jarang mengajakku ke panti asuhan itu. Celine juga jarang datang ke panti asuhan. Bahkan, Celine jarang menemuiku dan sikapnya berubah sedikit lebih dingin. Dia sering mengurung dirinya dalam kamar, terlihat lebih tertutup. Sedangkan aku, sahabatnya, tidak tahu pasti tentang apa yang terjadi padanya, hingga sikapnya berubah. Dia tidak pernah menjawab, tidak pernah.
Aku bingung harus berbuat apa. Celine selalu menghindar dariku. Dia tak pernah lagi bersikap sehangat dulu. Wajahnya terlihat sangat murung. Bahkan aku tidak lagi berani mengajaknya bicara, atau sekadar menyapa. Namun perasanku sebagai seorang sahabat membuatku tidak bisa tenang jika membiarkan keadaan ini terus berlanjut. Aku harus bicara pada Celine, tekadku dalam hati.
Aku memberanikan diri mendatangi rumahnya yang hanya berbeda dusun dengan rumah kakekku. Namun, rumahnya saat itu terlihat sangat sepi. Berkali-kali ku ketuk pintu rumahnya, ku panggil namanya namun tidak ada seorang pun yang menjawab. Aku mencoba bertanya kepada salah satu tetangganya.
“APA? IBU TIDAK BERCANDA KAN?” aku terkejut setelah ibu itu memberi tahu diriku, lututku terasa lemas. Mataku berkaca-kaca. Hatiku bertanya-tanya, apakah ini yang membuatnya menghindar dan menjauh dariku.
“Boten mbak, saya kemarin baru saja menjenguknya. Sekarang Celine dirawat di rumah sakit. Paviliun Anthurium, kamar nomor gangsal,” jelas Bu Sri, dengan logat jawa yang sangat kental. Seorang perempuan paruh baya yang tinggal tepat di depan rumah Celine.
“Oh, nggih matur nuwun informasinya, bu. Saya pergi dulu. Permisi,” suaraku terdengar parau. Aku menangis. Rupanya mataku tidak sanggup lagi membendung air mata yang seakan mendesak ingin jatuh. Hatiku sangat terpukul mengetahui kenyataan ini.
Tanpa berpikir lebih lama, aku bergegas menuju rumah sakit. Aku tidak bisa tenang memikirkan bagaimana keadaannya. Aku berlari di sepanjang koridor rumah sakit menuju ruangannya. Bahkan, sepertinya aku menabrak beberapa orang di koridor yang berpapasan denganku. Tapi, aku tidak peduli. Aku terlalu khawatir memikirkan Celine.
Aku menghela napas berat, menghapus air mata di pipi saat sampai di depan ruangannya. Ku baca tulisan di samping pintu itu. Benar, Paviliun Anthurium nomor 5. Ku pegang gagang pintu itu, tanganku gemetar. Kutarik perlahan tuasnya, kudorong, dan pintu itu terbuka. Dapat kulihat jelas Celine tergolek di atas tempat tidur. Pucat pasi dengan rambut yang kurasa tidak setebal biasanya.
Aku melangkah memasuki ruangan itu. Mendekati ranjang Celine, dan menggenggam tangannya, Celine tersadar. Sepertinya dia terkejut menyadari aku di sini. Ia menatapku, matanya mulai berkaca-kaca, rautnya memancarkan kesedihan mendalam. Bulir air mata mulai jatuh membasahi pipinya. Membuatku ikut hanyut dalam kesedihan yang ia tunjukkan.
“Kintan, maaf,” tangisnya pecah, dia meraih tanganku, menggenggamnya.
“Cel, kenapa kamu tidak pernah jujur saja ke aku? Kenapa kamu malah menghindar?” tanyaku, sembari berusaha menata hati yang terasa sesak.
“Aku takut jujur ke kamu, aku takut kalau aku merusak persahabatan kita karena kanker ku ini. Aku tidak mau membuatmu khawatir, aku tidak mau,” ucapnya sambil menahan tangisannya.
Aku tidak bisa menjawab, aku hanya bisa menangis, merengkuhnya. Membiarkannya menangis dipelukanku, melepas semua rasa sesak di hati selama ini.
Hari demi hari kami lewati. Sudah lebih dari setahun. Celine terus berjuang melawan penyakitnya. Sedangkan aku, aku hanya bisa berdoa pada Sang Kuasa untuk kesembuhannya. Setiap hari aku menyempatkan diri menemaninya berjuang. Aku menungguinya, menggantikan ayahnya yang harus bekerja demi membiayainya.
“Kintan, sepertinya hal yang tidak kita inginkan semakin dekat. Umur kita semakin hari semakin bertambah, dan aku, mungkin tidak bisa bertahan lebih lama lagi,” senyum kecut terlukis di bibirnya.
“Cel, aku mohon, jangan bilang begitu, aku tahu, kamu kuat. Aku tahu kamu wanita hebat, aku tahu ayahmu sangat sayang padamu, dia pasti tak ingin melihatmu putus asa,” suaraku bergetar, tanganku tanpa sadar mengelus kepalanya, yang hampir tanpa sehelai rambut pun akibat kemoterapi.
“Bukan putus asa, hanya bersiap menghadapi takdir,” Celine tersenyum.
“Aku titip ayahku, Rosalie, dan anak-anak panti, sampaikan maafku pada mereka karena lama tidak menemui mereka. Satu lagi yang mungkin kamu belum tahu. Empat tahun belakangan, aku merintis usaha batik. Memang kecil, tapi aku bersyukur hasilnya bisa kusumbangkan pada panti asuhan itu. Aku titipkan juga usaha itu padamu, aku percaya padamu, Kintan. Rose tahu apa yang harus kamu lakukan,” dahinya mengernyit, dia menatapku penuh harap. Aku tidak bisa berkata apapun, tangisku pecah.
Semakin hari, keadaan Celine semakin memburuk. Kanker yang menyerang tubuh Celine semakin ganas. Aku tidak tega melihat kondisinya, aku tidak sanggup. Kanker itu menggerogoti tubuh Celine dengan sangat ganas. Tanpa ampun.
Segala upaya yang telah dilakukan kesembuhan Celine berakhir tanpa hasil. Kanker ini terlampau ganas. Operasi dan kemoterapi tidak banyak membantu. Semua orang hampir putus asa. Dokter mengatakan, usia Celine tak akan lama lagi. Hanya tinggal menunggu keajaiban yang mungkin terjadi.
Celine koma selama beberapa hari, ia tak sadarkan diri, kondisinya sangatlah memburuk. Sebelum koma, dia menitipkan pesan padaku untuk memberikan separuh uang tabungannya pada anak panti. Ia juga menitipkan salam, pada orang-orang yang mungkin akan merindukannya. Aku heran padanya, di tengah kondisinya yang seperti itu, dia tidak pernah mengeluh, dia juga masih sempat memikirkan orang lain di sekitarnya.
Pada akhirnya, Celine menyerah pada penyakitnya. Jerih payahnya untuk berjuang tak lagi dapat dilanjutkan. Dia meninggalkan kami semua, meninggalkan kami dengan jutaan kenangan manis bersamanya. Dia meninggal tepat di hari ulang tahunnya yang ke sembilan belas. Ia telah bahagia di sana, bersama ibunya yang telah lama ia rindukan.
***
“Mbak Kintan, kok melamun mbak?” tanya Rosalie mengagetkanku. Aku meletakkan kain batik yang sedari tadi aku pegang
“Eh, Rose. Nggak terasa ya, kakakmu udah sembuh sejak empat tahun lalu. Rasanya baru kemarin aku main sama Celine di belakang rumah,” aku tersenyum getir, sembari menghapus sisa air mata di pipiku.
“Mbak Kintan kangen kakak? Sama, Rose juga. Semoga saja kakak bahagia di sana,” ucap Rosalie.
Aku hampir saja lupa. Hari ini hari ulang tahun Celine. Hari ini juga tepat empat tahun dia meninggalkan orang-orang yang menyayanginya. Sungguh, aku rindu dia. Hari yang aku jalani empat tahun terakhir tidaklah seindah dulu. Tidak seindah ketika kami masih bisa bergurau bersama. Tapi tidak masalah, aku rela, aku berusaha tegar, untuknya.
Saat langit mulai menyiratkan rona jingga dengan gradasi warna yang berpadu manis hari itu, seikat bunga mawar berwarna merah, kesukaan Celine kini telah berada dalam genggamanku. Ratusan gundukan tanah pun sudah berbaris rapi di depan mataku. Aku berjalan perlahan, menyusuri tanah pemakaman ini hingga sampailah aku pada sebuah nisan batu marmer berwarna putih . Terpahatkan di atasnya, nama seseorang yang sangat aku sayangi, Celine.
“Selamat hari kelahiran yang ke dua puluh tiga kesayanganku, Celine. Cel, I just want you to know, how I miss you so bad. Semoga di sana kamu bisa lebih bahagia ya. Maaf jika aku belum bisa menjadi seorang sahabat yang baik untukmu. Ini, kubawakan mawar merah favoritmu, semoga kau suka,” gumamku.
Aku meletakkan bunga itu di atas pusaranya. Detik berikutnya, aku memejamkan mata, berdoa pada Sang Kuasa untuk sahabatku tercinta. Agar bahagia hidupnya di sana.
Hari menjelang malam, mentari bertukar peran dengan sang rembulan. Bulan purnama terlihat gagah, bulat sempurna, megah menghiasi langit kelam malam. Tubuhku lelah, aku terlelap di ranjangku menghilangkan semua rasa penatku hari ini.
“Terima kasih sahabatku. aku sayang kamu, Kintan.”
Sayup-sayup aku mendengar suara Celine. Secara samar, aku melihatnya tersenyum penuh arti.
Namun, aku terbangun dari mimpiku, tersenyum, dan berkata di dalam hati.
“Aku juga sayang kamu, sahabatku.”
Dheyanti, 2016
Komentar
Posting Komentar