Cepen Remaja


Antara Hati dan Realita


Rintik air sudah mulai membasahi tubuhku. Semakin lama semakin deras. Namun ragaku masih terpaku dan enggan begerak dari tempatnya berpijak. Pikiranku masih melayang jauh entah kemana. Aku masih terjebak dalam lamunan yang menuntunku masuk ke dalam imajinasi emosionalku.
“Asha!” teriak seseorang, memanggilku, namun teriakan itu tidak sanggup menyadarkanku dari lamunan itu.
“Asha!” ku dengar teriakan itu lagi, namun aku tidak menghiraukannya.
“Asha!” kali ini teriakan itu tedengar sangat dekat, seketika kurasakan ada sebuah tangan yang menarikku menuju ke tepi, berteduh.
Ku tatap dengan lekat matanya, Satria, orang yang sejak tadi meneriakkan namaku. Jantungku tiba-tiba berdebar, berdegup dengan keras. Apa yang sedang ku rasakan?
“Hei, Sha, kamu ngapain tadi berdiri sendirian di tengah lapangan basket? Udah basah kuyup begini, tapi tetap berdiri di sana?” Tanya Satria. Kekhawatiran jelas tergambar pada raut wajahnya.
Aku tidak menjawab. Aku hanya menggelengkan kepala.
“Sha? Kamu lagi ada masalah? Aku lihat kamu sering melamun akhir-akhir ini.”
Aku hanya menggelengkan kepala, lagi.
Satria menghela napas, detik berikutnya ia melepas jaket hitam kesayangannya. Dia menatapku. Kurasakan perasaan iba yang terpancar dari sorot matanya. Tangannya bergerak perlahan menyelimuti badanku yang terlampau basah dengan jaket miliknya. Aku terkejut. Napasku tertahan.
“Pakai dulu jaketku, semoga bisa sedikit menghangatkan badanmu.”
Senyum simpul terkembang dari bibirnya.
“Terima kasih, Sat,” ucapku.
“Ayo, aku antar kamu pulang. Aku tidak mau kalau kamu sampai kehujanan lagi,” ajak Satria.
Belum sampai aku menyetujuinya, Satria menarikku menuju mobilnya. Dia mengantarku pulang.
“Sha, kalau kamu lagi ada masalah atau butuh bantuanku, bilang aja, aku siap bantu kamu. Sekarang, aku pulang dulu,” katanya sembari tersenyum. Tangannya mengacak rambutku, sementara aku hanya terdiam. Dia masuk ke mobilnya, menginjak pedal gas dan melaju pergi.
            Ku pandangi mobilnya hingga lenyap di belokan. Aku tidak habis pikir dengan Satria. Dia begitu peduli padaku meskipun kami hanya sebatas teman.
***
Bel masuk telah bergema di seluruh penjuru sekolah termasuk di telingaku. Aku bergegas menuju kelas dengan tergesa-gesa, sedikit berlari. Ketika langkahku menjajaki koridor kelas XI, sekilas aku melihat Radit sedang menatapku. Aku menghentikan langkahku, menatapnya heran. Namun, aku beusaha tidak memerdulikan tatapannya itu. Aku meneruskan kembali perjalananku menuju ke kelas. Kelasku, XI IPA 1, berada tepat di ujung koridor ini.
Ketika sampai di ambang pintu kelas, mataku tidak sengaja beradu tatap dengan Satria yang tengah duduk di kursinya. Dia menatapku tanpa ekspresi untuk beberapa detik. Selanjutnya, ia memalingkan pandangannya dariku seolah enggan memerdulikanku. Aku telah terbiasa dengan hal itu. Dia selalu bersikap seperti itu setiap hari. Jadi, aku tidak pernah ambil pusing.
“Sha?” panggil seseorang. Aku membalikkan badan, terkejut. Tiba-tiba Radit telah berdiri di belakangku tanpa ku dengar derap langkahnya.
“Radit? Ngapain kamu di sini?” tanyaku heran.
“Memangnya aku tidak boleh di sini ya, Sha?”
“Bukan begitu. Maksudku, kamu kan tidak mungkin ke sini jika tanpa tujuan,” aku mengedikkan bahu. Kemudian aku meletakkan tas di mejaku.
“Kamu kemarin pulang sama Satria ya?” pertanyaannya membuatku kaget. Dari mana dia tahu? Seingatku, kemarin sekolah sudah sepi dan aku tidak menemukan orang lain selain aku dan Satria. Aku tak bersuara, hanya menganggukkan kepala.
Radit menatapku dengan sedikit ekspresi yang tersembunyi di balik raut wajahnya, namun aku tidak dapat menebaknya. Kemudian, dia beranjak pergi dari kelasku tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Belakangan ini, aku rasa Radit bersikap aneh padaku dan lebih sering memperhatikanku. Tapi entahlah, mungkin hanya perasaanku saja.
Mataku menyapu sekitar. Aku menangkap basah Satria yang tengah melirikku dari luar kelas. Ketika tahu aku melihatnya, Satria cepat-cepat membuang pandangannya dariku. Aku menghela napas.
Sejenak pikiranku sesak tentang Radit. Seandainya saja aku dapat berkata jujur pada Radit. Aku telah merasakan sesuatu yang berbeda tentang perasaanku kepada Radit. Dia adalah lelaki pertama yang aku kagumi setelah mendiang ayahku. Bagiku, Radit sosok yang baik, pintar, dan misterius. Namun, aku tak pernah berani mengatakan tentang rasaku padanya. Aku takut, dia justru enggan menemuiku lagi. Lagipula, aku tahu, dia sedang dekat dengan Melati, salah satu teman baikku..
            Hari demi hari berlalu, kurasakan sesuatu yang berbeda di antara aku dan Radit. Aneh rasanya. Beberapa minggu terakhir, kami semakin akrab. Akan tetapi, terkadang dia tiba-tiba bersikap sangat dingin padaku.
Namun aku telah bejanji pada diriku sendiri untuk tidak jatuh terlalu dalam pada perasaanku sendiri. Aku akan sedikit menjaga jarak darinya dan menahan perasaanku. Karena aku tidak mau disebut sebagai orang ketiga pada hubungannya dengan Melati.
            “Mel, dimana Radit? Sejak kemarin aku tidak melihatnya,” tanyaku pada Melati saat kami berpapasan di kantin.
            “Dia tidak masuk lagi, dia bilang dia sakit,” jawabnya sambil mengedikkan bahu.
            “Lagi? Sesering ini? Sakit apa sebenarnya dia? Hampir setiap minggu dia tidak masuk sekolah,”
            “Aku tidak tahu pasti, Sha. Maaf, aku duluan,” ucapnya sembari melangkah pergi.
            Sejak beberapa minggu terakhir, Radit sering ijin dari sekolah karena sakit. Entah apa yang dia hadapi. Namun, setiap kali aku bertanya padanya, dia tidak pernah berterus terang. Bahkan, Melati pun nampaknya juga tidak tahu penyakit yang sedang menyerang Radit. Radit seringkali bilang padaku kalau dia hanya sakit biasa, namun aku tidak lantas percaya. Jika hanya sakit biasa, mengapa sering sekali dia absen dari sekolah.
            Hingga suatu ketika, aku nekat datang ke rumah Radit untuk melihat keadaannya. Sudah seminggu ini dia tidak masuk sekolah. Aku tahu, Radit tidak akan suka jika melihatku datang. Ia tidak pernah mengijinkanku untuk menjenguknya. Tapi hatiku tidak mampu, jika aku harus terus berdiam tanpa tahu keadaannya yang sebenarnya. Hatiku juga tidak mampu, untuk menahan rindu.
            Saat itu, rumah Radit sepi. Berkali-kali ku ketuk pintu rumahnya, ku panggil namanya namun tidak ada seorang pun yang menjawab. Aku melihat sekeliling dengan hati yang mulai cemas. Aku mencoba bertanya kepada salah satu tetangganya yang tanpa sengaja kutemui di depan rumahnya.
            “APA? IBU TIDAK BERCANDA KAN?” aku terkejut setelah ibu paruh baya itu menceritakan keadaan Radit, lututku terasa lemas. Mataku berkaca-kaca.
            “Tidak mbak, saya kemarin baru saja menjenguknya. Sekarang dia dirawat di rumah sakit. Paviliun Anthurium, kamar nomor lima,” jelasnya. Seorang perempuan paruh baya yang tinggal tepat di sebelah rumah Radit.
            “Oh, terima kasih informasinya, bu. Saya pergi dulu. Permisi,” suaraku terdengar parau. Aku menangis. Rupanya mataku tidak sanggup lagi membendung air mata yang seakan mendesak ingin jatuh. Hatiku sangat terpukul mengetahui kenyataan ini.
            Tanpa berpikir lebih lama, aku bergegas menuju rumah sakit. Aku tidak bisa tenang memikirkan bagaimana keadaan Radit yang sebenarnya. Aku berlari di sepanjang koridor rumah sakit menuju ruangannya. Bahkan, sepertinya aku menabrak beberapa orang di koridor yang berpapasan denganku. Tapi, aku tidak peduli. Aku terlalu khawatir memikirkan Radit.
Aku menghela napas berat, menghapus air mata di pipi saat sampai di depan ruangannya. Aku mencoba mengendalikan emosiku yang kini sudah kalut, menahannya agar tidak semakin memuncak. Ku baca tulisan di samping pintu ruangan itu. Benar, Paviliun Anthurium nomor 5, atas nama Raditya Angkasa. Ku pegang gagang pintu itu, tanganku gemetar. Kutarik perlahan tuasnya, kudorong, dan pintu itu terbuka. Dapat kulihat jelas Radit tergolek di atas tempat tidur. Pucat pasi dengan rambut yang kurasa tidak setebal biasanya. Sepertinya dia terkejut menyadari aku di sini.
            Aku melangkah memasuki ruangan itu. Kulihat kedua orang tuanya sedang berdiri di sudut ruangan, mereka menatapku. Aku tersenyum lemah dan mengangguk pada mereka. Hatiku serasa makin hancur, beribu keping.
            “Maaf, Om, Tante, saya Asha, teman sekolah Radit, saya ingin menjenguk Radit,” jelasku. Sepertinya mereka juga sedikit kaget atas kehadiranku. Mereka hanya tersenyum dan pamit untuk keluar sebentar.
            Kini, hanya aku dan Radit yang tersisa di ruangan itu. Suasana menjadi kaku selama beberapa saat dan kami terdiam, hingga akhirnya dia bicara.
            “Jadi, apa kamu sudah tahu?”
            “Kanker?” Aku mulai menangis, lagi.
            “Ya, beginilah keadaanku, Sha.” Kulihat rasa penyesalan menghinggapi rautnya.
            “Tega ya Dit? Tidak pernah jujur padaku, pada Melati. Sampai kami tidak tahu kamu begini,” aku tersenyum getir.
            “Sha, maaf. Aku minta maaf banget. Aku cuma takut kamu jauhin aku gara-gara aku begini.”
            “Dit, Mana mungkin aku jauhin kamu cuma gara-gara kamu kena kanker. Aku justru akan temani kamu. Aku tidak mungkin sejahat itu,” aku semakin terisak.
            “Asha, aku minta maaf. Aku tahu aku salah. Jujur, aku sebenarnya juga nggak ingin bohongi kamu dan yang lain. Tapi aku terlalu takut buat jujur, buat bilang ini semua. Aku tidak mau kalian khawatir padaku, aku tidak mau merepotkan kalian dengan penyakitku ini. Aku merasa tidak berguna! Maaf.”
            Kini air mata turut mengalir di pipinya, tubuhnya bergetar. Aku memandangnya. Aku tak kuasa melihatnya begini. Aku tak sanggup.
            “Radit, jangan nangis. Aku janji, Dit. Aku akan terus temani kamu, kapan pun. Bahkan hingga napas terakhirku. Kamu tidak boleh putus asa, aku masih butuh kamu.”
            Radit menatapku penuh harap. Dia meraih dan menggenggam erat tanganku. Aku memeluknya.
            Semenjak hari itu, aku berusaha menepati janjiku. Setiap hari, aku menyempatkan diri untuk menengok dan merawatya. Melati dan Satria pun turut menemani Radit ketika ia di rawat.
            Hari demi hari kami lewati. Semakin hari, keadaan Radit semakin memburuk. Kanker yang menyerang tubuh Radit semakin ganas. Aku tidak tega melihat kondisinya yang sekarang. Kanker itu menggerogoti tubuh Radit dengan sangat ganas. Tanpa ampun.
            “Sha? Kamu ngelamun lagi? Mikirin Radit ya?” Tanya Satria mengagetkanku. Tiba-tiba dia sudah berdiri di sampingku. Aku memang sedang menyendiri di taman rumah sakit, mencoba menenangkan diri.
            “Iya. Aku nggak tega lihat dia begitu, Sat. Apa sih dosanya sampai dia diberi penyakit itu? Masih banyak kan orang di dunia ini, kenapa harus Radit? KENAPA HARUS RADIT, Sat?” tanyaku, setengah berteriak.
            “Sha, perlu kamu tahu. Apa yang dialami Radit sekarang itu bukti bahwa Tuhan masih sayang Radit. Tuhan peduli dengannya. Tuhan yakin Radit mampu melewatinya. Tuhan nggak akan mungkin memberi cobaan pada hamba-Nya kalau hamba-Nya nggak sanggup, Sha.” Satria berusaha menenangkanku.
            “Tapi Sat, kenapa Radit? Dari sekian banyak hamba-Nya, kenapa Radit? Ini semua tidak adil!” Air mataku jatuh lagi, tidak terbendung.
            “Karena, Radit kuat. Radit mampu, dia telah terpilih. Yakinlah, rencana Tuhan itu pasti yang terbaik untuk umat-Nya, Sha.”
            Dia merengkuh bahuku, memelukku. Dia membiarkanku menangis di pelukannya. Pelukannya terasa sangat nyaman, sangat meneduhkan. Bahkan, lebih nyaman dari pelukan Radit, kala itu. Jantungku berdebar. Rasanya aku tidak ingin melepaskan pelukan itu.
            “Sha, kamu harus kuat. Aku nggak mau lihat kamu sering bersedih. Radit pasti juga tidak akan suka. Tenang, aku akan menjagamu, Sha,” ucap Satria, berusaha menenangkanku, sembari mengusap kepalaku perlahan.
            Satria selalu begitu. Ia tak pernah lelah memberiku semangat. Ia tak pernah letih membangkitkan semangatku. Satria tak pernah membiarkanku menghadapi masalah sendirian, ia selalu ada untukku. Ia tak pernah bosan untuk menenangkanku, menjadikan beban hidupku sedikit berkurang.
***
Sudah dua tahun lebih kanker itu menyerang Radit. Segala upaya yang telah dilakukan kesembuhan Radit berakhir tanpa hasil. Kanker ini terlampau ganas. Operasi dan kemoterapi tidak banyak membantu. Semua orang hampir putus asa, Melati juga. Dokter mengatakan, usia Radit tak akan lama lagi. Hanya tinggal menunggu keajaiban yang mungkin terjadi.
            “Asha, aku tahu, kamu juga tahu, umurku tak akan lama lagi,” Radit tersenyum lemah.
            “Dit, kamu kuat, jangan bilang begitu.”
            “Sha, tolong dengarkan aku dahulu. Aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu, aku ingin jujur,” tutur Radit, lemah sekali.
            “Apa, Dit?”
            “Aku menyukaimu, aku sayang padamu, Sha. Sejak saat aku mengenalmu, aku tahu, kamu berbeda dari cewek lain. Hatimu sangat baik, tulus. Maaf, aku baru berani mengatakan ini sekarang, saat aku hampir meninggalkanmu. Memang, sepertinya aku cowok lemah.” Dia mengenggam tanganku, tertawa getir.
            “Radit? Kamu? Ini semua cuma bercanda kan? Mana mungkin,”
            “Tidak, Sha. Itu semua benar adanya.” Aku terkejut, sangat terkejut.
“Dit, Aku juga menyukaimu, aku sayang kamu,” tiba-tiba kalimat itu terlontar dari bibirku.
“Aku tahu, Sha. Tapi aku lebih tahu apa yang mungkin kamu tidak ketahui,” senyum lemah mengembang di wajahnya yang pucat pasi. Aku tidak paham apa maksud kalimat itu.
            Dia mengambil sebuah amplop yang berada di samping tempat tidurnya. Dia memberikan amplop putih itu padaku.
            “Sha, jika kelak aku tiada. Tolong, buka amplop itu tepat di hari pemakamanku. Di dalamnya, kamu akan menemukan sepucuk surat yang telah kutulis. Bacalah di atas pusaraku bersama dengan Satria.”
            “Dit, tapi aku tidak paham apa maksud semua ini.”
            “Kelak, kamu akan sangat mengerti, Sha.”
            Setelah mengucapkan kalimat itu, tiba-tiba Radit tidak sadarkan diri. Dia koma. Dua hari kemudian, nyawa Radit tidak dapat tertolong. Radit menghembuskan napasnya yang terakhir. Radit pergi meninggalkanku, Melati, Satria, ayah dan ibunya, serta semua orang yang menyayanginya.
            Aku tidak sanggup jika harus menghadapi kenyataan pahit seperti ini. Radit pergi terlalu cepat. Hatiku hancur. Ketika aku tahu perasaannya padaku, saat itu juga dia pergi meninggalkan aku.
            “Asha, kamu harus kuat, kamu tidak boleh terus menangis seperti ini. Aku yakin, Radit tidak akan senang melihatmu seperti ini. Tersenyumlah, beri tahu Radit bahwa kamu telah mengikhlaskannya,” ucap Satria.
            “Aku nggak sanggup, Sat. Ini terlalu cepat,” aku tersedu.
            “Kamu sanggup, aku tahu, kamu kuat.” Dia merengkuhku, memelukku.
            Saat pemakaman Radit. Aku tidak mampu menahan air mataku. Air mataku mengalir dengan sangat deras. Aku sangat terpukul. Namun, Satria selalu setia berada di sisiku. Ia menguatkanku dengan untaian kalimatnya yang selalu membuatku lebih tenang. Dia tanpa bosan merengkuh bahuku, memberiku kehangatan dan kenyamanan. Membuatku sedikit lebih baik. Akan tetapi, itu semua tidak cukup untuk merangkai kembali puing hatiku yang kini telah hancur.
            Tiba-tiba aku teringat pesan Radit sebelum ia meninggal. Dia memberiku sepucuk surat yang harus kubaca hari ini, di atas pusaranya.
            Aku mengajak Satria untuk membacanya, persis seperti apa yang diminta Radit padaku. Kami berdua membaca surat itu perlahan

Untuk Asha dan Satria
Ketika kalian membaca surat ini, tentu aku sudah tiada. Napasku telah berhenti berhembus bukan? Ya, memang itulah takdir yang harus aku jalani.
Untuk Asha: kamu sudah tahu perasaanku kan? Memang benar aku menyayangimu. Namun, kamu perlu tahu, sekarang pria yang sedang berada di sampingmu, bersamamu, jauh lebih menyayangimu ketimbang aku. Sadarkah kamu, dia selalu ada untukmu, kapan pun? Dia selalu berusaha yang terbaik untukmu. Dia selalu menjadikanmu prioritasnya. Dia rela menjagamu, menyayangimu saat kau tidak banyak peduli padanya dan justru merawat manusia lemah sepertiku. Oh iya, sebenarnya aku tahu kamu juga suka padaku. Namun di lubuk hatimu yang terdalam, bukanlah aku orangnya, tetapi Satria. Ya, mungkin kamu tidak akan menyangka. Tapi, pesanku, cintailah Satria sebagaimana dia mencintaimu Sha. Aku yakin, Satria adalah orang yang tepat untukmu, bukan aku. Sha, mungkin juga dulu kamu pikir aku memiliki hubungan dengan Melati? Semua itu jauh dari dugaanmu. Kami hanya sebatas teman, tidak lebih. Kami hanya bersahabat saja. Karena Melati tahu, rasa sayangku padamu.
Untuk Satria: Sat, pesanku hanya satu untukmu. Jagalah Asha dengan baik, lindungi dia, jangan sampai kau menyakiti hatinya. Kutitipkan dia padamu. Jadilah lelaki yang baik untuknya. Cintai dia dengan sepenuh hatimu. Jangan membuatku kecewa, aku percaya padamu. Biarlah wanita berhati bidadari yang berada disampingmu kini menjadi ibu dari bidadari-didadari kecil kalian nanti.
Meskipun ragaku tak bersama kalian, jiwaku kan tetap bersemayam di hati kalian. Aku ingin melihat kalian bahagia bersama, kelak.
Ingatlah, aku tahu, apa yang bahkan kalian mungkin tidak mengetahuinya.
Sampai jumpa di kehidupan berikutnya. Sampaikan salam sayangku pada semuanya.
Tertanda,
Raditya Angkasa

Setelah selesai membaca surat itu, kami saling berpandangan. Ku tatap lekat mata Satria yang kini berkaca-kaca. Aku baru sadar, Satria adalah orang yang selama ini ada dalam hatiku, melebihi Radit. Aku juga baru sadar, Satria selalu ada untukku, kapan pun. Dia selalu berusaha menghiburku, menemaniku, dan melakukan apapun demi aku. Butiran air mataku mulai menetes lagi, perlahan. Jatuh di antara untaian kata tulisan tangan Radit.
Satria memelukku, dia berbisik lirih. “Aku akan selalu menjagamu, menemanimu, selalu ada untukmu, hingga napasku berhenti berhembus, aku menyayangimu, Asha.”
“Aku juga sayang kamu, Sat.”
Kini, aku menjalani hidupku yang bahagia bersama Satria. Aku akan membuka lembaran baru hidupku bersamanya. Kami berjanji, akan bahagia. Seperti yang Radit inginkan. Aku mengerti, terkadang keinginan hati tak selamanya akan menjadi realita hidup.
Aku sayang kalian, Radit, Satria.




Dheyanti,2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku 'Mikrobiologi Perikanan dan Kelautan'

Do You Remember Me?